Jumat, 04 Juli 2014

Pendakian ke Gunung Burangrang

Dalam tulisan saya kali ini, saya akan menceritakan pengalaman saya waktu mendaki Gn. Burangrang bersama teman-teman kampus (baca: HiPu Mania) pada tanggal 21 Juni 2014 kemarin, karna kebetulan kami sangat menyukai kegiatan alam terbuka, dan kami juga sangat mencintai pemandangan alam akhirnya kami memutuskan untuk hunting tempat yang dapat dijadikan untuk mengisi libur kami. 

Setelah kami semua berunding di grup bbm, akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gn.Burangrang, selain tidak terlalu jauh, kami juga sudah memperhitungkan ongkos ke sana yang tidak terlalu mahal berhubung semua personil berdomisili di Bandung Barat, dan Bandung kota, sehingga keputusan final nya kami memilih Gn. Burangrang.

Saya coba baca referensi di internet tentang pengalaman seseorang yang pernah mendaki gunung tersebut, untuk sekedar tahu jalur mana yang harus kami lewati, dan tentu saja kondisi medan, peralatan, serta persiapan - persiapan khusus untuk mendaki gunung tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tiak diinginkan selama pendakian. 

H-7, saya dan teman saya Vidya mencoba untuk survey rute angkot, serta mencari lokasi pintu masuk, karna kebetulan tidak ada satupun dari kami yang pernah mendaki Gunung tersebut. 


Saat hari H, kami bertujuh, empat perempuan termasuk saya dan tiga laki-laki, memulai perjalanan dari Citereup Cimahi, kami semua berkumpul di Alfamart perempatan, karna dekat dengan tempat angkot kuning jurusan Cisarua. Setelah berkumpul dan berdoa, kami langsung berjalan kaki sedikit untuk menaiki angkot Cisarua. Perjalanan dengan angkot memakan waktu sekitar 40 menit dari Citeureup Cimahi ke gapura Komando dengan ongkos Rp.5000/orang , bagi teman-teman yang masih bingung, kalian bisa langsung bilang ke supir angkotnya untuk turun di Dusun Bambu, saya yakin supir angkot pasti langsung mengerti. 

Dari gapura Komando, kami berjalan kaki sekitar 20 menit melewati Dusun Bambu, dan sampailah kami di sebuah pos awal dimana disini ada dua jalur yang sama-sama menuju ke Burangrang, jalur kiri ke arah perkebunan, sedangkan jalur kanan ke arah Curug Layung, waktu saya dan teman saya survey kami bertanya kepada salah seorang warga yang tengah duduk di pos, mereka menyarankan kami untuk melewati jalur kiri, karena selain lebih dekat, jalur ini juga tidak dikenakan biaya apapun, hanya saja apa bila di pos tersebut ada warga yang tengah berjaga, maka kami akan diminta uang rokok saja, tidak ada tiket masuk, tidak ada asuransi juga. Tentu saja pada akhirnya kami memilih untuk melewati jalur kiri sesuai dengan keputusan saat survey. 

perjalanan dari gapura Komando ke pos awal

Sesampainya kami di Pos awal, kami tidak melihat adanya warga yang tengah bertugas menjaga pos saat itu, dan dengan tanpa beban juga kami numpang istirahat di pos tersebut, memang saat itu kami tengah hoki nampaknya, kami tidak perlu memberikan uang rokok kepada warga yang berjaga. 
 foto saat beristirahat di pos pertama

Setelah itu kami langsung melanjutkan perjalanan ke arah perkebunan, sesekali kami mengambil gambar dan video selfie untuk seru-seruan. Selama perjalanan kami disuguhi dengan pemandangan Gn. Burangrang yang sedikit tertutup kabut, hari itu cuaca di daerah cisarua sedikit mendung, berbeda dengan cuaca di Citereup yang sangat cerah. 

Kami memulai perjalanan yang di iringi gerimis kecil, kami terus berjalan dengan semangat yang masih menggebu-gebu, melupakan sejenak tugas kuliah yang menumpuk dan Ujian Akhir Semester yang semakin mendekat memang inilah salah satu tujuan awal kami, melupakan sejenak rutinitas yang menjemukan.
 memulai perjalanan di antara perkebunan di temani gerimis kecil
Kira-kira setengah jam perjalanan dari pos, kami menemukan sebuah mesjid, kami memutuskan untuk shalat dzuhur lalu makan siang sebelum melanjutkan perjalanan, masjid ini terdiri dari dua lantai, awalnya kami kebingungan dimana letak tempat shalat karna di lantai pertama terlihat seperti tempat tinggal warga, sampai pada akhirnya salah satu dari kami menemukan tangga untuk menuju ke tempat shalat, ya...! ternyata tempat shalat, wudhu, dan wc ada di lantai dua. Indah sekali pemandangan dari lantai dua mesjid ini, kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto.





Setelah shalat, dan makan kami kembali melanjutkan perjalanan dengan mengikuti jalan setapak dari mesjid tersebut, saat kami sampai di hutan pinus yang teduh, tiba-tiba turun hujan yang cukup deras, kami langsung memakai jas hujan kami masing-masing, saya pribadi memilih menggunakan jas hujan kresek, karna lebih simple, dan ringan, hanya saja kekurangan dari jas hujan ini adalah mudah sobek dan tidak menutupi bagian betis saya, untung saja selama perjalanan saya tidak mendapati jas hujan saya sobek, jas hujan yang saya kenakan itu saya beli waktu saya hiking ke Tangkuban Perahu dan hujan deras beberapa minggu lalu dengan harga Rp.10.000 saja, terhitung murah dibandingkan dengan jas hujan berbahan tebal, dan berat.

Awal-awal perjalanan kami masih mendapati jalanan yang landai walau turun hujan, setelah 10 menit berjalan kami memasuki hutan-hutan, dan di menit-menit selanjutnya kami bertemu dengan jalanan yang licin dan menanjak, tentu saja kami harus berhati-hati agar tidak terjatuh. Setelah itu mulai telihat tanjakan yang terdiri dari akar-akar pohon untuk berpijak menyambut perjalanan kami, ini jalur yang paling berkesan bagi saya saat ini, mengingat diantara kami semua ada dua orang pendatang baru di kelompok kami yang bernama Kiki dan Farida, mereka  bisa dikatakan pemula, dan ini adalah pertama kalinya bagi mereka untuk mendaki gunung. 

Kami terus berjalan, beberapa kali juga terpeleset dikarenakan jalan yang licin, kami semua dalam keadaan basah dan berlumpur saat itu, cape, pegal, dan haus juga mewarnai perjalanan kami. Memanjat akar, menaiki atau menunduk untuk melewati pohon yang tumbang, menghindari genangan air, dan gerakan-gerakan lainnya yang tidak pernah kita lakukan di tempat hiking lainnya sangat mendominasi perjalanan kami. Sesekali kami beristirahat, hujan pun kadang turun kadang berhenti saat itu.



 perjalanan menuju puncak

Hari semakin sore, kami sudah berjalan sekitar dua setengah jam lamanya termasuk istirahat, sampai pada akhirnya kami menemukan jalur yang terus menurun, kami mulai ragu saat itu, disisi lain kami menemukan sebuah jalan setapak yang tertutup rumput yang tinggi dengan jalan yang menanjak, dan kami akhirnya memilih jalur yang menanjak tersebut, dan akhirnya kami sampai di tempat yang kami rasa adalah tempat tertinggi, walau kami semua ragu bahwa tempat ini adalah puncak, seharusnya kami menemui sebuah tugu yang menyatakan bahwa ini adalah puncak, karena merasa tidak yakin akhirnya Bilal dan Parlan mencoba untuk mencari lagi jalur yang seharusnya kita lewati.
 foto saat di puncak yang salah -___-
Saya, Uni, Kiki, Farida, dan Vidya menunggu sementara Bilal, dan Parlan mencoba mencari jalan yang benar, kami menunggu sekitar 30 menit, dan merekapun akhirnya datang dengan nafas yang terengah-engah, mereka mengabarkan bahwa jalur yang menurun adalah jalur yang benar, mereka sudah menemukan tugu yang selama ini kami cari (hahaha..... berlebihan sekali bahasa saya), dengan segera kami langsung bersiap kembali untuk melanjutkan perjalanan, sebetulnya tempat ini juga merupakan puncak, hanya saja pemandangan disini tertutup pohon-pohon dan rumput yang tinggi, kami lebih memilih untuk berjalan sekitar setengah jam lagi untuk melihat pemandangan yang lebih-lebih lagi dari ini.


pemandangan di sela-sela perjalanan menuju puncak 

 detik-detik menuju puncak dengan medan yang cukup sulit
Sepanjang perjalanan menuju puncak, kami di suguhi pemandangan yang luar biasa indah walau samar-samar tertutup kabut. Kami melewati jalan setapak yang lumayan berbahaya dimana kanan dan kiri terlihat jurang, ditambah hari yang saat itu mulai gelap sehingga kami harus lebih berhati-hati lagi. Akhirnya kami mulai menemui jalanan yang datar setelah melewati jalan yang terjal, saya menemukan sesuatu yang menyerupai persis seperti batu nisan dimana tertulis nama Maman Suherman di batu tersebut, batu nisan ini mengingatkan saya waktu saya mendaki Gn. Ciremai, saya berulang kali menemukan batu nisan seperti ini dimana tertulis nama orang yang meninggal di gunung tersebut.

Sesampainya di dataran ini kami langsung mendirikan tenda untuk beristirahat, makan, dan tidur, kami mulai memasak untuk makan malam , setelah makan malam, kami melanjutkan dengan acara main kartu cangkulan, main kartu cangkulan ini sudah menjadi tradisi bagi anggota HiPu, ditambah hukumannya yang berupa coret-coret muka dengan bedak juga termasuk tradisi kami.

 Keesokan harinya kami, bersiap untuk pergi ke tugu yang bertuliskan puncak Burangrang lokasinya tidak jauh dari tempat kami mendirikan camp sekitar 5 menit, kami pergi meninggalkan tenda untuk melihat sunrise dari puncak gunung Burangrang, dan tentu saja kami juga ingin berfoto-foto disana. Sesampainya disana kami di sambut dengan pemandangan yang penuh sesak oleh tenda para pendaki yang berkemah disana, saya dan teman-teman mencoba mencari celah dimana kita semua bisa berfoto dengan hasil yang bagus. Di Tugu ini mampu memuat 3 tenda dengan muatan 3 orang per tendanya, sementara di tempat kami mendirikan camp mampu memuat 4 tenda untuk 5 orang dengan posisi berjajar ke samping.

foto saya dan teman-teman HiPu di tugu selamat datang puncak Gn. Burangrang
Uni, Bilal, dan Kiki naik-naik di Tugu
foto tempat ngecamp kami dari Tugu
foto diambil oleh Bilal yang sedang berada di atas Tugu

 Bilal di atas Tugu

pemandangan Burangrang di pagi hari

Hari itu kebetulan bertepatan dengan hari ulang tahun salah satu rekan dari HiPu yang bernama Sofi, dia kebetulan tidak dapat mengikuti kegiatan ini dikarenakan tidak dapat izin dari orang tuanya. Kami pun akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah ucapan yang spesial buat Sofi.






 menyiapkan sarapan sepulang dari Tugu

foto Vidya dan Parlan tengah menjemur baju yang kemarin kehujanan
Setelah itu kami semua bersiap untuk pulang, kami memutuskan untuk melewati jalur awal, tidak lupa juga kami membersihkan sampah-sampah di sekitar tempat kami berkemah agar lingkungan tetap terjaga kebersihannya, diharapkan untuk setiap penggiat alam untuk dapat menjaga lingkungan agar keindahan alam kita ini tetap terjaga.

Perjalanan kami saat pulang saya rasa lebih melelahkan ketimbang perjalanan saat kami berangkat, jalanannya masih licin dan juga menurun tajam. Saat pulang, kami disuguhi pemndangan yang sangat indah, kami bisa melihat Situ Lembang walau tertutup kabut.